
Lahir di Tulungagung, pada 5 Juli 1943. Imam Asy’ari adalah putra pertama K.H. Muchsin Abdul Wahab, ulama terkenal, Pengasuh Pondok Pesantren Dawuhan, Blitar, Jawa Timur. Sebagai putra seorang ulama, masa kecil Imam Asy’ari banyak dihabiskan untuk mempelajari ilmu agama kepada ayahanda tercinta.
Pengembaraan Imam Asy’ari dalam menimba ilmu dimulai saat memasuki jenjang SLTA. Imam Asy’ari menempuh pendidikan SMA di Malang, pada pesantren asuhan K.H. Sahal. Lulus SMA, Imam Asy’ari kemudian memperdalam ilmu agama di Pondok Pesantren Krapyak, Yogyakarta, dan berguru langsung kepada K.H. Ali Ma’shum selama 3 tahun. Dari Krapyak, Imam Asy’ari melanjutkan belajar sebagai santri di Pondok Pesantren Sarang, asuhan K.H. Zubair, ayahanda almarhum K.H. Maimun Zubair.
Menikah dengan Mundjidah Wahab pada tahun 1969. Mundjidah Wahab adalah putri K.H. Abdul Wahab Chasbulloh, Inisiator, Pendiri, dan Penggerak Nahdlatul Ulama. Usai menikah, Imam Asy’ari kemudian menetap dan mengabdikan diri di Pondok Pesantren Bahrul Ulum Tambakberas, Jombang, bersama istri tercinta. Pasangan Imam Asy’ari dan Mundjidah Wahab dikaruniai 6 orang putra putri, yaitu Achmad Silahuddin, Mohammad Rofi’uddin, Ema Umiyatul Chusna, Awin Tammah, Lailatun Ni’mah, dan Mamba’uddin.
Hari-hari K.H. Imam Asy’ari Muchsin di Tambakberas banyak dihabiskan untuk mengajarkan kitab-kitab salaf di pesantren dan mengajar di Madrasah. Kitab salaf yang menjadi wiridan beliau adalah Fathul Qorib. Pada lembaga pendidikan formal, beliau pernah mengajar di Madrasah Muallimin Muallimat Atas (MMA) dan masih aktif sebagai guru di MTsN Tambakberas hingga akhir hayat. K.H. Imam Asy’ari Muchsin juga pernah menjabat sebagai Bendahara Yayasan Pondok Pesantren Bahrul Ulum.
Turut Serta Mengembangkan Bahrul Ulum.
Era tahun 1990-an Pondok Pesantren Bahrul Ulum mengalami perkembangan yang sangat pesat. Perkembangan ini salah satunya ditandai oleh jumlah santri yang terus bertambah dari tahun ke tahun. Keadaan ini memotivasi bagi berdirinya unit-unit pesantren dalam naungan Yayasan Pondok Pesantren Bahrul Ulum. Tak ketinggalan, K.H. Imam Asy’ari Muchsin bersama istri tercintanya, Ibu Nyai Hj. Mundjidah Wahab, mendirikan unit pesantren yang diberi nama Pondok Pesantren Putri Al Lathifiyyah II Bahrul Ulum pada tahun 1990. Dua tahun sebelum itu, yakni tahun 1988, beliau berdua juga terlebih dulu mendirikan asrama pesantren khusus mahasiswa, yang selanjutnya berubah nama menjadi Pondok Pesantren Al Wahabiyyah I Bahrul Ulum.
Selain mendirikan pesantren, almarhum K.H. Imam Asy’ari Muchsin juga terus menyeru kepada pembimbing dan pengurus pondok saat itu agar mengubah sistem pembelajaran klasikal menjadi Madrasah Diniyah sebagai solusi atas kebijakan pemerintah yang tertuang dalam Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional RI tahun 1989 (UUSPN 89) yang menyamakan kurikulum madrasah dengan sekolah. Wujud sikap bijak almarhum dalam menyikapi regulasi dunia Pendidikan juga diekspresikan dengan memelopori berdirinya Madrasah Aliyah Keagamaan (MAK) Bahrul Ulum pada tahun 1994. MAK saat ini berubah nama menjadi Madrasah Aliyah Unggulan K.H. Abd. Wahab Hasbulloh.
Sosok Jenaka, Cinta Seni, dan Disiplin
Semasa hidupnya, K.H. Imam Asy’ari Muchsin merupakan sosok kiai jenaka, pencinta seni, dan disiplin. Selera humornya yang tinggi, terutama saat memberikan sambutan atau pidato, membuat para santri selalu menunggu dan bersemangat untuk mendengarkan apa yang beliau sampaikan. Pesan yang serius selalu beliau sampaikan dengan gaya jenaka dan penuh humor. Para santri yang pernah mendengarkan sambutan atau tausiyahnya hampir pasti masih mengingat cerita tentang “kaca mata, segi tiga, bendera (salah satu negara), dan juga tokoh imajiner bernama John Poni dan Hernik Murtiningsih.”
Frasa kaca mata dan segi tiga biasanya beliau gunakan untuk memperhalus kalimat saat memberi wejangan kepada para santri agar disilpin dalam merawat pakaian yang dimiliki, tidak meletakkannya di sembarang tempat, serta tidak membiarkannya saat jatuh dari jemuran. Sementara bendera (salah satu negara) beliau gunakan agar para santri putri tidak sembarangan dalam membuang “barang bekas pakainya.” Sedang tokoh imajiner John Poni dan Hernik Murtiningsih biasa beliau dramatisasikan dengan atraktif untuk menasihati para santri terkait pergaulan dengan lawan jenis. Jenaka penyampainnya, namun mengena pesan-pesannya. Begitulah kira-kira kalimat yang tepat untuk menggambarkan kemahiran beliau dalam berkomunikasi lisan saat pidato.
Kecintaannya pada dunia seni, terutama seni sastra terlihat dari kepiawaian beliau dalam menyusun bait-bait syair saat ceramah dan berkhutbah. Bila giliran beliau yang membaca khutbah Jumat, para santri sering menunggu, di antara yang ditunggu adalah kalimat-kalimat bersajak yang beliau selipkan pada bagian khutbahnya.
Dalam persoalan disiplin, beliau layak dijadikan teladan. Salah satu contohnya, hampir setiap kegiatan pondok, terutama Pondok Pesantren Putri Al-Lathifiyyah II, beliau selalu hadir lebih awal, duduk di kursi menyambut para tamu, termasuk para guru yang terkadang harus merasa malu dan bersalah karena pengasuhnya lebih dulu hadir.
K.H. Imam Asy’ari Muchsin berpulang ke rahmatulloh pada Sabtu Pon, 31 Agustus 1996 M., bertepatan dengan 16 Robiul Tsani 1417 H. Di saat santri terus-menerus mengumandangkan sholawat burdah, menunggu beliau hadir memberi pengajian rutin Fathul Qorib selepas sholat shubuh, saat itulah sang kiai berpulang ke Rahmatullah dalam posisi duduk menelaah kitab yang akan beliau baca di hadapan para santri.
Semoga almarhum nyaman di sisi-Nya. Aamiin. Lahu Al-Faatihah… Tambakberas, 24 November 2021