
Sosoknya mudah dikenali oleh siapapun, termasuk oleh anak sekecil saya saat itu. Perawakannya yang gagah, pakaian selalu rapi, gemar memakai baju lengan pendek, celana bagian bawah agak lebar dipadu sepatu selop warna hitam, hidung mancung, kulit wajahnya putih dihiasi kacamata warna kehitaman menambah ganteng dan berwibawa. Ciri khas yang sangat mudah untuk diingat. Mengenal beliau sejak saya masih duduk di bangku MTs karena beliau adalah guru Fiqih Kitab di kelas saya saat itu. Namun, kedekatan secara khusus baru terbangun saat saya lulus Aliyah. Ketika baru lulus Aliyah tahun 1991 saya dihadapkan pada dua pilihan antara berkhidmat di kampung halaman sebagai guru MI ataukah melanjutkan kuliah dengan berusaha mencari biaya sendiri sesuai harapan orangtua. Dalam suasana bimbang, lazimnya seorang santri, saya melakukan sholat istikharah, memohon petunjuk kepada Allah akan jalan mana yang lebih baik untuk saya tempuh. Walhasil, dalam tidur seusai sholat istikharah saya bermimpi seolah berada di tengah tanah lapang yang saat ini ditempati bangunan GSG K.H. Chasbulloh Sa’id. Tanah yang saat itu masih merupakan kebun kelapa dengan rerimbunan pohon di bawahnya, dalam mimpi saya seolah sudah bersih tiada rimbunan pohon seperti keadaan aslinya. Di situ terdapat sofa mewah, mungkin sekelas sofa ruang kepala MAUWH saat ini, saya bertemu dengan dua orang kiai yang masing-masing memberi petunjuk jawaban akan keperluan saya beristikhoroh. Dua kiai tersebut memberi petunjuk yang berbeda. Yang satu menyarankan agar saya pulang ke kampung halaman, sedang yang satu mengatakan bahwa saya lebih baik tetap di Tambakberas. Jelas tergambar dalam mimpi saya bahwa kiai yg menyarankan agar saya tetap di Tambakberas adalah almarhum K.H. Imam Asy’ari Muchsin yang sudah saya kenal di alam nyata. Tak berselang lama setelah mimpi tersebut, saya memutuskan untuk sowan kepada beliau dengan ditemani oleh santri senior yang sudah lebih dulu tinggal di Asrama Mahasiswa “Al Wahabiyah.” Dalam kesempatan sowan tersebut, ternyata apa yang saya terima di alam nyata tak jauh beda dengan mimpi saya. Yang saya ingat beliau dawuh, “Wis yo Zin… kowe gak usah muleh nang Lamongan. Nok kene wae ngrewangi ibuk ngramut arek-arek mburi mulang-mulang opo kono. Sok (sesok) opo sing mbok karepke insya Allah bakal keturutan.” Alhamdulillah. Sejujurnya saya sangat bahagia saat itu. Saya merasa mulai menemukan jalan hidup, khususnya jalan untuk bisa kuliah. Dengan penuh keyakinan dan percaya diri, saya pun menjawab, “Nggeh…” Sejak itu, tahun 1991, saya bertekad untuk berkhidmat di pondok yang beliau asuh bersama istrinya, Ibu Nyai Hj. Mundjidah Wahab. Lazimnya guru yang mengajar di pondok, saya menerima amplop pertama kali dari pengurus yg merupakan awal kali keringat saya berbuah rupiah. Saya ingat saat pertama amplop saya buka ternyata isinya Rp15.000. Subhanallah, lima belas ribu, entah kebetulan atau bagaimana, jumlah itu sama persis dengan besaran SPP kuliah saya di STIT Bahrul Ulum. Ternyata ucapan almarhum begitu cepat terbukti, salah satunya keinginan sy untuk bisa membayar kuliah dengan keringat sendiri “keturutan.” Dalam perjalanan berkhidmat, saya merasa sangat dekat dengan beliau. Saya merasa sangat disayanginya sampai detik-detik akhir menjelang beliau berpulang ke rahmatullah, bahkan hingga saat beliau telah “berpulang.” Suatu hari (kira-kira 2 atau 3 hari) setelah beliau berpulang ke pangkuan-Nya, saya bermimpi rambut kepala saya ditarik-tarik oleh beliau hingga saya terbangun. Saat bangun dari tidur saya termenung dan berpikir ada apa dengan beliau. Saya segera bergegas menuju makam. Subhanallah. Ternyata saya menjumpai bahwa tepat di dekat nisan beliau yang sebelah utara, bagian kepala, ada lubang yang lumayan dalam. Mungkin disebabkan para santri kurang teliti menutupkan tanah saat pemakaman. Tanpa pikir panjang saya segera mengambil tanah pada bagian lainnya untuk menutup lubang itu. Ya Allah…saya sungguh bangga mendapat kesempatan itu. Lalu, dalam beberapa hari setelahnya, saya kembali bermimpi bertemu beliau. Kali ini beliau menyampaikan bahwa ada urusan hak adami beliau yang belum terselesaikan. Maklum beliau memang berpulang secara mendadak, tanpa sakit. Setelah mimpi itu, saya sangat ingin segera menyampaikan kepada Bu Nyai. Namun, di ndalem hampir selalu ada tamu hingga dalam waktu dua mingguan barulah saya bisa matur. Saya ditanya oleh Bu Nyai saat itu, “Kapan sampean ngimpine?” Setelah saya jelaskan, Bu Nyai pun membenarkan bahwa pada saat saya bermimpi tersebut memang ada hak adami almarhum yg belum terselesaikan. Tetapi, pada saat saya bisa menyampaikan, hak adami tersebut sudah dipenuhi oleh Bu Nyai. Alhamdulillah. Lega rasanya. Semoga beliau nyaman menikmati pertamanan surga, buah dari amal baik beliau selama hidup di dunia. Aamiin🤲🙏 Kagem almarhum.. Alfatihah…🤲🙏 Catatan: Insya Allah pada bagian ke-2 saya akan menulis tentang sosok dan komitmen beliau mendirikan dan mengasuh pesantren serta madrasah.