Salah Bergantung, Bintang Harapan untuk Bapak
Malam ini kuberanikan diriku menatap gemerlap bintang setelah sekian lama mengurung diri pada gelapnya kamar. Kejadian beberapa hari lalu yang membuatku seperti ini. Memang sudah berlalu, namun lukanya masih tertancap bak belati.
Janjiku pada bapak adalah menjadi bintang di langit sana. Segala macam beasiswa menjadi kunci untukku raih. Tapi kiriman surat dari pemerintah tiga hari yang lalu berhasil mengusik pikiranku. Kubuka bingkisan itu perlahan, kubaca isinya dengan sangat teliti, setelah beberapa menit termenung, surat itu pun luruh ke lantai.
Itu surat pengumuman seleksi beasiswa luar negeri yang disediakan pemerintah. Aku tidak lolos. Sebagian besar, para peserta yang lolos memiliki latar belakang keluarga yang baik, anak para pejabat, dan orang-orang berpenghasilan tinggi.
Lantas aku? Aku hanyalah anak seorang buruh tani dengan hasil perbulan yang sangat pas-pasan. Dan aku gagal di seleksi itu. Kalimat apa yang harus kusiapkan untuk menghadapi wajah penuh keringat bapak?
Tanpa kusadari, lamunanku mengakibatkan lembaran yang kupegangi erat-erat luruh ke lantai.
Ibu yang tak sengaja menemukanku dalam keadaan seperti itu lantas memberi kabar kepada sang bapak. Dan di sinilah aku berada, di remangnya suasana dengan bapak yang baru membuka pintu kamarku.
“Kau sudah makan, Ul?" Tanya bapak sebagai mengawali obrolan.
Aku hanya menggeleng pelan.
“Kau sedang apa, Ul?" lanjutnya.
Aku diam saja. Lidahku terasa kelu, bahkan untuk sekadar membuka suara, pun air mata yang kubendung serasa ingin meluncur begitu saja.
Bapak tersenyum kepadaku, mengusap pucuk rambutku pelan. Senyum penuh kasih andalan bapak membuatku menghangat seketika. Tapi gurat lelah yang terukir di wajah bapak pula yang membuatku ingin menangis sejadi-jadinya.
“Ul. Tetangga kita banyak bertanya tentangmu kepada bapak." ucapnya.
“Lalu bapak menjawab apa?” Tanyaku yang mulai tertarik pada pembahasan ini.
“Bapak katakan jika bintangnya bapak, si Ul Ul sedang mengikuti seleksi di ibu kota yang jauh di sana.”
Mendengar kata bintang yang lagi-lagi terucap membuat hatiku sakit. Air mata yang tadinya hanya menggenang di pelupuk mata kini deras meluncur ke pipi.
“Oi, Ul. Jangan kau risau. Tetangga kita banyak yang senang karena mendengar hal itu. Akhirnya ada orang dari kampung kita yang bisa mengikuti tes bergengsi tersebut.” Bapak menguatkanku.
Aku membuang napas gusar.
“Aih... Pak, Ul Ul tak lolos seleksi itu. Mana bisa jadi bintangnya bapak? " Tukasku.
Bapak yang mendengar itu malah tertawa terpingkal-pingkal.
“Lantas kalau bukan kau yang menjadi bintangnya bapak, lalu siapa? Mbok Siti sebelah rumah itu?”
Gurauan bapak berhasil membuatku tersenyum. Kuakui bapak memang andal sekali menjadi pelawak kala masa sedihku.
“Pak, Ul Ul sangat berharap dengan beasiswa itu. Kita dari kasta rendah, harusnya Ul Ul yang berangkat ke luar negeri dengan beasiswa. Bukan mereka para orang-orang yang bercukupan itu, Pak.” Sungutku menahan kesal.
Bapak hanya bereaksi datar mendengar itu. “Berharap sekali sepertinya kau Ul pada para pemerintah itu.”
“Iyalah, Pak. Tak banyak orang negeri kita yang bisa berpendidikan sampai luar negeri. Apalagi jalur beasiswa.” Jawabku masih dengan kekesalan.
“Kalau kau ingin jadi bintang, Ul, berharaplah pada sesuatu yang menciptakan bintang itu sendiri.”
Aku mengerutkan keningku, bingung terhadap reaksi yang baru saja bapak lontarkan.
“Tak pahamlah pak aku ini.” tukasku
Bapak tersenyum simpul, menatapku penuh arti. “Ul. Pemerintah itu manusia, mereka makhluk. Kau berharaplah pada sang pencipta makhluk. Jika kau berharap pada makhluk tentu makhluk masih butuh sandaran untuk berharap kepada yang lain. Tapi jika kau berharap pada sang penciptanya.” Bapak menjeda kalimatnya, membuatku tidak sabaran.
“Tentu semua akan kau dapat, termasuk dunia ini sekalipun. Tuhanmu kaya raya Ul, penuh kasih dan sayang. Mengerti akan hambanya, tapi kau masih sibuk berharap sampai lupa meminta kepada yang seharusnya,” lanjutnya.
Aku terdiam. Bapak benar. Ya Tuhan, kemana saja aku selama ini? Jauh sekali langkahku dari dekapanmu. Sujudpun bahkan aku selalu lupa. Mungkin ini merupakan peringatan darimu agar aku Kembali menyandarkan harapan yang benar.
Teruntuk bapak. Izinkan aku menggantungkan harapanku, kali ini kepada sang pencipta bintang dan tempat bersandar yang sempurna. Aku janji kepada bapak dan ibu, nama mereka berdua akan dipanggil karena anaknya, si Ul Ul akan menjadi lulusan terbaik kelak. Bintang yang paling cemerlang.
Penulis : Ivani Irtiva’ul Khusna.