SURAU
Terkenang suasana di malam hari saat langit mulai menggelap, mentari tampak lelah hendak terbenam, dan burung-burung beterbangan menuju rumahnya. Suasana seperti ini mengharuskan semua orang untuk tetap berada di dalam rumah tidak melakukan kegiatan apapun di luar. Kegiatan semacam ini sudah menjadi kebiasaan masyarakat di kampungku, harus pulang dan masuk rumah untuk mulai beribadah, meskipun pada saat itu keluargaku tidak beribadah seperti mereka.
Nah, Mamakku melakukan hal yang sama kepada semua anggota keluarga, ketika langit mulai berubah warna. Saat itu, seluruh keluarga sedang berkumpul untuk mengobrol di dapur sambil menghangatkan diri di dekat perapian. Mamak mulai memasak kue tradisional dari olahan singkong, sedangkan Bapak mulai melipat kertas untuk membuat rokok dengan cara tradisional. Kami anak-anak mendengarkan dengan penuh perhatian percakapan orang dewasa sambil makan kue tradisional yang enak dan tidak ada duanya. Seperti keluarga yang lengkap dan hangat berkumpul di satu tempat yang menyenangkan. "Cobalah makan kue ini selagi panas." Kata Mamak sambil memberikan kue tradisional untukku dan adik-adik. Mamak selalu menjaga kami dengan cinta kasih yang tulus.
Tiba-tiba terdengar keras suara dari Surau tak jauh dari rumahku. Suara itu selalu aku dengar menjelang malam hari. Surau yang tidak terlalu besar itu adalah tempat ibadah bagi pemeluk agama mayoritas di kampungku. ”Mengapa suara itu selalu terdengar jelas?.” Tanyaku ingin tahu.
“Suara doa dan waktu ibadah.” Kata Bapak sambil menyesap rokok tradisional yang terbuat dari cengkeh kering dan daun tembakau yang dicincang kasar.
Sebenarnya hatiku tergerak untuk mendengar suara di Surau itu. Aku tidak tahu rasa dan pemikiran ini suatu tindakan yang benar atau kesalahan yang mengarah pada perselisihan pengasuhan dalam keluarga.
"Kenapa kamu bertanya kepadaku tentang suara di Surau itu?." Tanya Mamak sambil menatap lurus ke arah mataku sebagai tanda penegasan.
Pertanyaan Mamak membuatku sulit untuk mengungkapkan perasaan yang mengganjal dalam hati dan pikiran ini.
“Kamu tidak perlu datang dan ingin tahu, Mamak paham kamu sedang penasaran. Sudah menjadi kebiasaanmu untuk selalu memikirkan hal-hal yang melewati batas pemikiran.”
Nada bicara Mamak menyetujui. “Jantungku kembang tengkuk saat mendengarnya.” Aku menjawab perlahan, mempertahankan posisi dan pemikiran.
"Ikuti kata orang tuamu agar kamu tidak tersesat." Jawaban tegas Mamak saat menyiapkan makanan yang akan dihidangkan untuk kami di dapur.
"Jangan membuat alasan yang cerdik, aku mendengar apa yang kamu katakan tentang Tuhan dari nenekmu.” Kata Bapak dengan muka masam mengerutkan kening. Seketika aku tidak bisa mengelak, aku merasa nasihat orang tuaku tidak bisa memenuhi rasa penasaran yang memuncak setiap kali mendengarkan suara di Surau itu.
Andai saja mereka tahu dan mau menerima perasaan yang ada di hatiku. Semacam kegelisahan tentang kebenaran peristiwa getir yang Tuhan lalui dan itu membuatku ragu.
Ada getaran yang mengalir di hati dan nadiku, Ketika mendengar suara di Surau itu. Ingin rasanya aku mendekat ikut dalam lantunan. Perasaan damai seperti sinar matahari menyinari pohon di pagi hari. Apalah dayaku yang tidak bisa menegaskan perasaan yang aku rasakan, karena beda pemikiran, penerapan pola asuh, serta pola pikir dari keluargaku yang sangat yakin dengan kasih Tuhan saat itu.
“Memang benar kata Mamak, pikiranku melampaui batas usia.” Aku berpikir sambil menghela napas panjang. Aku membutuhkan bantuan untuk menenangkan dan meyakinkan diri tentang masalah ini.
Aku bergegas masuk ke kamar mengambil selimut untuk menghangatkan diri dengan pikiran gelisah. Bibirku dengan lembut mengikuti lantunan suara yang mengetarkan hati dari Surau itu. Setiap kali ada kesempatan tanpa sepengetahuan orang tua, aku mengendap-endap dengan rasa gelisah melihat dari kejauhan kegiatan ibadah di Surau itu. Rasa gelisah ingin tahu yang tak terbendung lagi.
Shalaatullaah Salaamullaah ‘Alaa Thaaha Rasuulillaah
Shalaatullaah Salaamullaah ‘Alaa Yaa Siin Habiibillaah
Tawassalnaa Bibismillaah Wabil Haadi Rasuulillaah
Wakulli Mujaahidin Lillaah Bi Ahlil Badri Yaa Allaah
llaahi Sallimil Ummah Minal Aafaati Wanniqmah
Wamin Hammin Wamin Ghummah Bi Ahlil Badri Yaa Allaah
Sepenggal lantunan ini selalu membuatku gelisah
“Apa yang harus aku lakukan? hatiku kacau setelah mendengar lantunan ini.” Aku berbisik pelan dengan penuh keraguan tentang apa yang terjadi pada Tuhanku atas peristiwa getir memilukan hati.
Aku membuka jendela kamar tidur, di balik kelambu terasa aroma angin malam menyapa wajaku saat menatap langit berbintang tertutup awan berkabut.
Andai malam mau mendengarkan apa yang aku rasakan, bagaimana hatiku kini, serta pikiran yang gelisah. Harapanku hanya ingin mengikuti apa yang aku rasakan. Hari-hariku berpegang pada perasaan yang tidak terjawab.
Oleh : Sariyanti