Yakin Ini yang Ku Mau?

MAUWH.SCH.ID-
Aliran sungai mengalir deras di bawah jembatan. Udara malam dingin menusuk kulit. Badan terasa menggigil, tapi tidak dengan hati yang terus memanggil. Aku mengadah, ke arah langit yang bertabur gemilang bintang. Dengan purnama yang memancar lembut sinarnya, aku membuang napas pelan, berkata lirih sambal meratap. “Inikah yang kumau?”
Kemudian kulangkahkan kakiku, menuju pembatas jembatan besi yang sudah berkarat. Kurang dua Langkah, maka raga ini telah sempurna didekap dinginnya air.
“Inikah yang kumau?” Tanyaku memastikan lagi.
Tidak ada rasa takut di hatiku, bahkan jika hatiku menjadi kepingan, hanya ada benci yang mengakar. Sungguh. Aku hanya memastikan saja, siapkah aku meninggalkan semua kepahitan ini? Pada dunia yang hanya memberikan kehidupan fana? Siapkah aku?
Aku menggeleng. Kakiku menjadi kelu untuk sekadar naik di pembatas jembatan, apalagi melihat arus air di bawah sana. Apa aku belum siap? Seketika potongan kisah tentang ketidakadilan dalam hidupku terputar begitu saja. Seperti proyeksi film. Benar-benar menyesakkan kepala. Aku depresi.
“Kenapa kau diam? Bukankah lompat dari atas sini merupakan keinginanmu beberapa menit yang lalu?” Ujar seseorang di samping kananku.
“Kau takut?” Tanyanya dengan nada mengejek. Aku menggeleng. Bukan takut yang kuhadapi. Aku tidak pernah takut. Tapi hanya sedikit…ragu?
Seseorang itu mendekatiku. Mencoba mengikis jarak. Semakin dekat, semakin aku bisa melihat jelas wajahnya yang lembut disiram cahaya rembulan. Seorang kakek tua yang penuh dengan wibawa. Entah kenapa aura dari kakek tua itu membuatku enggan untuk bersitatap. “Tapi kalau kau mati sekarang, kau tidak akan menjadi apa-apa nak. Kau yakin?” Ucap kakek itu sekali lagi.
Aku tersenyum samar. “Memang siapa yang akan menjadikanku ‘sesuatu?’ Aku hanya korban ketidakadilan para penguasa daerahku.” Tukasku.
Kakek itu tersenyum. “Pikiranmu pendek. Kau yakin akan adanya Tuhan? Para penghuni langit? Aku harap kau meyakini mereka semua nak. Biar bagaimanapun jika kau tidak menjadi sesuatu di dunia, maka kau akan menjadi sesuatu di langit sana.”
“Bagaimana caranya?”
“Kau hanya perlu berpikir jernih dan berusaha untuk terus hidup. Negeri kita di penuhi dengan kera berdasi. Kau merupakan korban dari semua kera itu. Tapi bukan balas dendam yang kumaksud, itu salah, amat sangat salah.” Kakek itu menjeda kalimatnya sebentar, sorot matanya menatapku penuh dengan keyakinan.
“Kau, tegakkanlah keadilan itu. Meski nyawa yang menjadi taruhanmu. Tapi Tuhanmu akan sangat bersuka cita daripada kau lompat dari atas sini.” Lanjut si kakek.
Kakek itu pergi, meninggalkanku yang masih mencerna kalimat yang dia lontarkan. Aku berpikir, kenapa harus aku? Apa karena aku pernah merasakannya semua ketidakadilan itu lantas berakhir di jembatan tua ini? Yang benar saja, aku juga korban. Tapi di luar sana mungkin ada yang lebih parah dari yang kualami. Lantas aku harus bagaimana? Menjadikan omongan kakek tua tadi sebagai tujuan hidup yang baru? Ah, omong kosong.
Tapi beberapa menit kemudian, tubuhku sempurna menjauh dari jembatan tua itu. “Mungkin menegakkan keadilan bukan hal buruk untuk dicoba.” Aku berlalu sambil sesekali bersenandung. Mengakhiri hidup memang bukan pilihan yang tepat, tapi hidup tanpa tujuan itu malah bukan pilihan sama sekali. Baiklah, mungkin ini yang benar-benar aku mau.
Penulis : Ivani Irtivaul Khusna