MAMA...
Perlahan kubuka mata yang terasa berat ini, sinar mentari menyapa dengan melambaikan cahayanya ke muka kecilku dari lubang dinding kamar yang terbuat dari anyaman bambu. Begitu malasnya aku bangun dan mengintip di ruangan sebelah kamar, ruangan yang bercat hitam berbahan kepulan asap dari arang kayu. Setiap hari di ruangan inilah Mamaku selalu menyajikan lauk yang nikmatnya tiada tara.
Aku mendekati Mama, kemudian memeluknya dari belakang.
“Mama aku sudah bangun,” kataku dengan wajah manja.
“Anak pandai, semoga nanti jadi anak sukses bisa mendoakan orang tua,” Mamaku bergumam dengan wajah cemas. kulihat Mama menyiapakan makanan yang ditaruh di bekal lusuh berwarna hijau kesukaanku.
“Mama mau ke mana? nasinya kok ditaruh di kotak makan itu?” Tanyaku penasaran.
“Nanti kamu akan Mama ajak jalan-jalan ke rumah teman Mama. kamu tidak boleh nakal, ya” Pesan Mama meyakinkanku.
“Ya, Ma.” Sembari aku memeluk erat Mama, entah mengapa muncul perasaan bahwa aku akan merindukan aroma pelukan Mamaku ini. Aku begitu bahagia sudah lama tidak di ajak jalan-jalan sepeninggal ayahku akibat kecelakaan. Mama Selalu bekerja keras demi kami bisa makan. Rasanya aku ingin menangis setiap kali melihat buliran keringat membasahi wajah Mama.
“Suatu saat aku akan membantu sekuat tenaga” Gumamku dalam hati dengan penuh tekad.
“Maafkan Mama ya, Nak, hanya bisa memberikan makan ini,” Ucap Mama sambil mengusap kepalaku dengan rasa haru. Air mata selalu membasahi pipi Mamaku ketika beliau tidak bisa memberikan makanan atau kebutuhan yang layak bagiku.
“Tidak apa-apa, Ma. Aku sayang Mama.” Aku tersenyum.
Terkadang kami hanya makan pisang rebus atau nasi kering yang dibeli Mama dari tetangga. Ya, nasi sisa yang dikeringkan atau lebih tepatnya nasi untuk makan ternak seperti ayam atau bebek.
Matahari semakin meninggi, menandakan aku harus cepat-cepat bersiap untuk pergi bersama Mama. Aku tidak bisa menutupi kebahagiaan ini. senyumku tampak girang, aku berlari, menari dan berputar-putar menandakan hati yang bahagia.
“Ayo cepat pakai baju yang sudah Mama siapkan di kamar. Kita akan ketinggalan angkutan umum,” Perintah Mama sambil mengusap kepalaku.
“Siap, Mama sayang.” Aku bergegas ke kamar. Kulihat baju lusuh warna merah dan celana yang ada model tambalan jahitan tangan Mamaku terhampar di atas Kasur.
“Pastinya beda warna dengan warna celananya,” Pikirku sambil senyum-senyum sendiri.
Tiba-tiba mataku tertuju pada bungkusan kardu bekas air mineral berisikan baju beserta perlengkapanku begitu rapi tertata. “Buat apa ya ini?” Pikirku heran. Ah, Mama mungkin mau mengajak untuk menginap.
Memang sudah lama kami tidak pernah merasakan kebahagiaan selayaknya keluarga utuh, senyum semringah Mama, canda tawaku saat bermain bersama Ayah dan Mama. Semua nan jauh di belakang sana.
Terasa sesak dada ini ketika memikirkan itu, membayangkan bagaiman rasanya pelukan dan hangatnya kasih sayang orang tua. Aku sudah tidak bisa menahan kegirangan hatiku membayangkan diajak jalan-jalan Mama. Setelah selesai ganti baju, tiba-tiba Mama memelukku dengan erat sembari meneteskan air mata.
“Maafkan Mama ya, nak.” Kata itu selalu terucap dari mulut kecil Mamaku
“Aku sayang Mama.” Mataku turut berkaca-kaca betapa besar perjuangan Mama untuk mempertahankan hidup.
“Mama sudah jangan menangis.” Dengan lembut kuseka air mata yang membasahi pipi Mama. Kuyakinkan dengan wajah manisku bahwa semuanya baik-baik saja.
Kemudian aku tiba-tiba terpikir sesuatu. “Apa Mama punya uang mengajaku jalan-jalan?” Tanyaku dengan memelas.
“Punya, untuk kita bias jalan-jalan berdua,” Jawab Mama. Anehnya wajah beliau kecut saat mengatakannya.
“Mama masih bisa membeli makanan untuk hari ini?” Tanyaku lagi, meragukan jawaban Mama.
“Masih bisa, sayang,” Air mata Mama mulai merebak selagi beliau memeluk erat tubuhku. “Ayo, kita bergegas pergi. ” Ajaknya sembari merapikan tempat tidur sekilas.
Tak lama kami berangkat ke pangkalan angkutan umum sambil membawa kardus bekas air mineral itu. Di setiap diperjalanan, Mama selalu mengusap kepalaku dengan penuh kasih.
“Mama nanti kalau aku sudah besar, aku akan membelikan Mama beras yang enak, ya.” Bisikku sambil menata ekspresi agar tidak kelihatan bersedih.
Mama hanya mengangguk. Tenggorokannya tersekat isak yang hendak melompat keluar.
Mama mengajaku naik salah satu angkutan. kebetulan tempat duduknya tidak terlalu penuh, sehingga kami bisa duduk sendiri-sendiri. Mama mengatakan alamat yang akan kami tuju dengan suara parau kepada supir. Penumpang yang lainya memandang kami dengan terheran-heran.
Kupeluk erat tubuh Mamaku untuk meghilangkan rasa takut berada di tempat yang semuanya asing bagiku.
“Sudah jangan takut. ” Suara Mama menenangkanku.
Mataku mengarah ke jendela kendaraan umum. kulihat pepohonan di sekitar jalan seperti panorama yang berganti-ganti di televisi. Aku berjanji dalam hatiku akan menjadi anak yang berbakti, menyenangkan, serta mengantikan Mama mengerjakan berbagai penat tanggung jawabnya. Tidak tahu mengapa hari itu aku merasakan bahagia yang bercampur perasaan gelisah setelah melihat Mama terus-menerus menangis, sikap yang tidak biasa bagiku. Aku merasa seperti akan kehilangan Mama, kasih sayang Mama. Aku tidak tahu perasaan ini datang dari mana.
“Mama.” Kupandangi wajahnya seolah-olah aku tidak bias melihatnya lagi.
Kurasakan aroma kehangatan kasih sayang Mama yang begitu berarti bagi kehidupanku. Aku tidak akan hidup dan bisa makan tanpa kerja kerasnya. Aku ingin perhatiannya setiap saat.
“Mama, aku ingin Makan ayam goreng, jika nanti Mama sudah punya uang, ya” Dengan wajah yang memelas kusampaikan ke Mama.
“ Ya, sayang. Doakan Mama bias membeli ayam goreng kesukaanmu. sekarang kamu ikuti apa yang Mama bilang, ” Lirih Mama sembari meneteskan air mata.
Sekali lagi aku binggung, kenapa Mama selalu menangis hari ini?.
Kulihat Mama mengeluarkan sebuah kertas dari dalam sakunya.“ Nak, ini kamu bawa dan buka ketika malam hari menjelang tidur, ya” Sambil melipat ketas supaya tidak terbang terkena angin, dengan polosnya aku menganggukkan kepala. “Apa ini, Ma?” tanyaku penasaran.
“Sudah, jangan banyak tanya,” Sahut Mama dengan wajah kecut.”Pokoknya jangan sampai hilang, ya.”
Kupegang kertas pemberian mama dengan berjuta pertanyaan, apa isi kertas ini? untu apa Mama memberikanya kepadaku? bisakah aku membacanya dengan lancar, sedangkan Mama tahu aku kurang lancar dalam membaca?.
“Stop, berhenti di sini,” kata Mama kepada supir, lalu menjejalkan ongkos perjalanan ke tangan supir.
Kami pun berhenti di sudut jalan yang lumayan sepi. Mama menggandengku berjalan menyusuri gang menuju tempat yang aku bayangkan sebagai taman bermain. Tibalah kami di depan rumah besar yang terlalu terawatt dengan gerbang menjulang tinggi. Rumah itu terlihat sepi, seakan tidak ada penghuninya.
“ Mama” Panggilku penuh tanya sambil melihat Mama yang terlihat kebinggungan.
Mama menangis sambil bersimpuh di depan gerbang. Beliau memeluku begitu erat
“ Maafkan Mama ya, sayang,” Mama sesenggukan dengan wajah kacau-balau.
Dilihatnya rumah besar itu dengan saksama, lalu tiba-tiba Mama bangun dan menariku kembali menyusuri gang yang tadi kami lewati “Kenapa, Ma?, kenapa kita kembali lagi? Apakah kita tidak jadi jalan-jalan?”
“ Tidak jadi, kita kembali pulang saja.” Mamaku menjawab tergesa-gesa seakan tak sabar untuk segera pergi dari tempat itu.
Tidak lama kemudian, kami mendapatkan angkutan umum yang membawa kami Kembali menuju rumah.
“ Ma, rumah siapa itu tadi” Tanyaku sambal bersandar di kursi angkutan umum yang tidak nyaman.
“ Sudahlah, jangan tanya lagi ya. itu rumah teman Mama yang sudah lama tidak bertemu,” Jelas Mama. Beliau juga meyakinkanku untuk tidak bertanya apalagi membahas soal rumah yang misterius itu lagi.
Sepanjang perjalanan aku tidak bisa berhenti memikirkan tingkah laku Mama yang aneh. Kenapa setelah melihat rumah itu, setelah berdiri di depan gerbang langsung mengubah tujuan?. Kusandarkan kepala di pangkuan Mama sambil memejamkan mata sesaat, teringat tulisan di papan nama rumah tadi PANTI ASUHAN HARAPAN kalau aku tidak salah baca. Tempat apa itu? Tempat itu sangat asing bagi anak seusiaku. Tetapi aku juga tidak berani untuk menanyakan kepada Mama.
Suara bel angkutan umum menandakan kami harus berhenti dan seketika aku terbangun karena suara itu.
“Ayo. Nak, kita turun,” Ajak Mama sambil berbenah diri.
Kami sudah berada di jalan kecil yang mengarah ke rumah. Perasan senang dan sedih bercampur aduk dalam hatiku. Senang, karena aku bias keluar rumah dengan Mama naik angkutan umum. Sedih, karena tidak bisa jalan-jalan sesuai yang aku bayangkan.
“ Ma, ini kertas yang tadi Mama berikan ke aku.” Aku memberikan kertas pemberian Mama yang tidak jadi kubuka ketika di rumah teman Mama.
Mamaku menerima kertas itu dan memasukannya ke dalam dompet usang yang selalu dibawa Mama kemana pun ia pergi. Dompet yang bertuliskan nama toko perhiasan. Aku tahu dompet itu bersal dari toko emas yang dulu beberapa kali dikunjungi Mama, ketika ayah masih ada dan dapat bekerja untuk kami.
Ayah, aku kangen. Semoga ayah tenang di sana. Aku dan Mama masih berjuang untuk mempertahankan hidup kami dengan segala keterbatasan.
Setibanya di rumah, Mama menuju kamar mandi, sedangkan aku menuju kamar. Kubaringkan tubuhku di atas kasur beralaskan tikar dengan bantal yang berbalut karung goni, bukan kain yang selama ini dipakai kebanyakan orang. Aku masih saja kepikiran tentang papan nama di rumah teman Mama tadi.
”Tempat apa ya itu?. Jika itu rumah teman Mama, kenapa ada papan nama di depan pintu masuk rumah tersebut?” Tanyaku dalam hati.
Terdengar suara yang tidak asing sedang berbicara dengan Mamaku. Aku bangun dan mengintip di balik Jendela kamar. Benar saja, aku melihat bu Narti, teman Mama, sedang duduk di kursi dan mengusap-usap bahu Mama untuk meredakan tangis. Tangisan Mama sepertinya tidak bias terbendung lagi, mengisyaratkan sebuah kepedihan yang mendalam.
“ Yang sabar ya, kamu harus kuat dan merelakan anakmu untuk diasuh di situ.” Suara bu Narti terdengar jelas meyakinkan Mamaku.
“ Tapi aku tidak tega. Dia anakku satu-satunya. Aku ingin membesarkannya sampai akhir hayatku. Tetapi keadaan ekonomi seperti ini.” Suara Mamaku terdengar sedikit terbata-bata akibat isak tangisnya.
“ Kamu harus kuat demi masa depan anakmu,” Hibur bu Narti sambil mengeluarkan secarik kertas. Dari tempatku mengintip, tentu saja aku tidak tahu itu kertas apa. “ Sudahlah, isi kertas ini agar bisa kuserahkan kepada kepala yayasan panti asuhan.” Saran bu Narti. Seketika hatiku bergetar mendengar kata ‘panti asuhan’. Tempat apa itu? Bibirku bergetar.
“Mama,” Panggilku sambil mulai menangis.
Baru kali ini aku menyaksikan Mamaku mengalami kebinggungan yang luar biasa, sepertinya ragu untuk menentukan sebuah keputusan besar. Di dalam pikirku saat ini tumbuh perasaan ragu dengan pertanyaan yang membelit hati. Apa yang terjadi pada Mamaku? Apa dia sudah tidak sayang padaku lagi? Aku tahu kita memang mengalami kesulitan ekonomi saat ini. Jangankan untuk membeli perlengkapan sekolahku, makan aja susah. Batinku nelangsa. Anak seusiaku sudah dihadapkan pada kenyataan hidup sejati, bukan kehidupan anak kecil yang selalu diwarnai dengan berbagai macam kebahagiaan dan senyum riang dari orang tua yang seharusnya kudapat. Masa kecilku diempaskan permasalahan ekonomi yang tidak terelakkan.
Ma, aku rela mengikuti apapun keputusanmu Mama, tekadku sambil mengusap pipi yang penuh air mata.
“ Baiklah, aku pulang dulu. pertimbangkan keputusanmu baik-baik.” Suara bu Narti berlalu pergi meninggalkan rumahku.
Ibu membereskan kertas-kertas yang ada di meja, menaruhnya di laci almari reyot yang ada diujung ruang tamu. Aku keluar untuk menemui Mama, berusaha seolah-olah tidak mengetahu apa yang terjadi.
“Mama,“ Sapaku dengan wajah yang riang. Aku berusaha menyembunyikan kesedihanku.
“Kamu mau makan,? masih ada nasi sisa di meja dapur dengan lauk kesukaanmu, dadar jagung.” Kata Mamaku sambil mengarahkan aku untuk ke dapur.
“ Nanti saja, Ma. Aku mau keluar dan main sama Tiara.” Pamitku.
Tiara adalah sepupuku. Dia lebih tua daripada aku. Tujuanku bertemu denganya yaitu ingin menanyakan tentang tempat yang namanya ‘panti asuhan’ itu. Aku berniat mencari tahu sendiri tanpa sepengetahuan Mama.
“Ya, jangan sampai sore bermainya.” Pesan Mama.
“Baik, Ma. Aku hanya pergi sebentar.” Aku buru-buru keluar rumah, berjalan menuju tempat sepupuku dengan perasaan ingin tahu yang meletup-letup.
“ Tiara! Tiara.” Pangilku dengan suara yang agak keras.
“Ya aku disini, ada apa?” Tiara rupanya berada di halaman rumahnya, di bawah pohon jambu yang memiliki tempat duduk dari anyaman bambu.
“ Main yuk!” Pintaku
“ Aku lagi tidak ingin bermain. kita duduk di sini aja sambil makan buah jambu yang sudah diambilkan kakekku tadi pagi,” Tiara mempersilahkan aku duduk di sebelahnya.
“ Sebenarnya aku ingin menanyakan sesuatu, tetapi kamu jangan bilang ke siapa-siapa, apalagi ke Mamaku atau ibumu,” Pintaku dengan perasaan sedih.
“ Ada apa? cerita saja. Barangkali aku bisa membantu.”
“ Kamu tahu tempat yang dinamakan panti asuhan?”
“ Panti asuhan?” Tiara menggaruk-garuk kepala kikuk.
“ Mamaku membicarakan itu dengan bu Narti. kamu tahu, tadi aku diajak Mama ke tempat itu, tetapi tidak jadi masuk dan kembali pulang,” Terangku penuh dengan kekecewaan.
“ kamu tahu nama panti asuhannya?” Tanya tiara sambil memegang tanganku.
“Panti Asuhan Harapan.”
”Panti asuhan itu tempat penitipan anak. Biasanya yang disitu anak-anak yang tidak memiliki keluarga. Setahuku, ya” Jawab Tiara sedikit ragu. ‘Penitipan?” Seketika aku menangis tersedu-sedu. “ Apakah Mama mau menitipkan aku di tempat itu, Tiara?”
Bisa jadi, Mal. Kan kamu sudah tidak punya ayah, mungkin saja Mamamu ingin kamu di sana.” Jawaban lugas Tiara sangat menusuk hatiku.
“Aku tidak mau berpisah dengan Mama,” Gumamku lirih.
“ Sabar, coba tanyakan dulu kepada Mamamu.”
“Iya. Aku pulang dulu, ya.”
Tiara lalu mengerutkan dahi. “Eh, kamu tanya Pak De aja. Barangkali Pak De tahu apa itu panti asuhan. Aku Taunya dari televisi sinetron anak yang tayang setiap hari minggu itu lho soalnya. Aku takut salah.”
Aku hanya mengangguk dan langsung berlari pulang. hatiku terlanjur hancur tidak keruan mendengar kata panti asuhan. Mama, aku tidak mau ke panti asuhan, renungku sambil berlari. Tapi aku juga tidak ingin membuat Mama bersedih dengan pertanyaan serta sikap yang menentang keputusannya.
“ Mama, aku pulang,” Aku segera membersihkan muka yang lecek karena menangis.
Aku tidak ingin Mama mengetahui perasaanku. sekali lagi aku berpura-pura tidak tahu apa-apa. Ya ampun, beban kehidupan yang ditanggung Mama begitu berat.
Mama sedang duduk di dapur saat aku menghampirinya. “Aku sayang Mama dan ingin selalu bersama Mama.” Bisikku sambil memeluk erat Mama dari belakang.
Aku sangat berharap Mama memikirkan kembali keputusannya.
Oleh Sariyanti, S.Pd.