Tuhan, Mengapa Engkau Berdarah?
Sambil menikmati secangkir kopi aku berdiri dibalik jendela usang yang penuh dengan ukiran dari hewan ngengat, menyaksikan tetesan air hujan yang semakin lama semakin deras. Seperti biasanya saat hujan aku selalu memakai kaos kaki lusuh untuk menghangatkan kaki mungil, memakai jaket tebal, serta penutup kepala layaknya penghuni kutub. Berharap angin dan air hujan tidak menumbangkan tubuh lemah ini. Aneh memang, untuk sebagian orang dengan kebiasaan yang aku jalani selama ini. Cuaca yang kurang bersahabat membuat tubuhku merasakan alergi dingin berkepanjangan dalam waktu lama. Sedingin pemikiranku tentang peristiwa yang getir mengganjal jiwa, sebuah pertanyaan tentang peristiwa yang mengerikan dari perjalanan sengsara Tuhanku menjalani penderitaan. Sungguh proses memilukan menuju kematian yang penuh kesakitan.
“Tuhan akan meninggalkanku karena kematian itu?”
“Mengapa Tuhan berdarah dalam peristiwa mengerikan itu.” Aku berpikir dalam diam.
Timbul pertanyaan ini yang membuatku meragukan kebenaran Tuhanku.
Ketika mendekati tempat tidur aku masih berpikir tentang bagaimana cara menemukan jawaban atas pertanyaan itu, kemudian aku berbaring di tempat tidur mencari buku harian favorit berisi curahan hati dan perasaan untuk hal-hal yang selalu aku jalani sampai sekarang. Tiba-tiba di benak muncul ide untuk menulis surat kepada Tuhanku.
“Mungkin Tuhan malu untuk berbicara langsung kepadaku”
"Kuharap aku menemukan jawaban atas keraguan dengan cara ini," Bisikku
Mulai aku menulis surat yang berisi pertanyaan-pertanyaan itu di selembar kertas buku harian, lalu meletakkannya di atas meja belajar di sudut ruangan kamar.
“Tuhan bacalah suratku ketika aku tidur, agar semua raguku berangsur-angsur hilang, pertanyaan-pertanyaan itu tidak mengganjal dan melekat di dalam hati ini.” Pikirku sambil memejamkan mata dan berselimut tebal penghangat dari cuaca yang buruk.
Suara kokok ayam jantan terdengar keras berada tepat di telingaku, perlahan mata ini terbuka sedikit.
“Uh...rupanya sudah pagi.” Gumamku. Di balik pintu kamar terdengar suara yang selalu sama aku dengar setiap pagi.
“Nirmala, bangun sudah pagi waktunya sekolah. Bereskan ompolnya.” Suara Enyak yang tidak asing bagiku.
Enyak yang selalu cerewet, namun sangat penyayang dengan segala pemikiran yang kuat tentang iman kepadaTuhan yang melampaui batas.
Aku Bergegas-gegas bangun. Dengan cepat melipat selimut yang memiliki bau khas itu, untuk melihat balasan surat yang aku tulis untuk Tuhanku. Bau yang kukira memang menyengat. Pantas saja Enyak selalu cerewet. Dengan penuh pengharapan aku meraih surat di atas meja, betapa terkejutnya saat kulihat tidak ada balasan, seketika keringat dingin terasa mengalir dari ujung kepala sampai ujung kaki.
Tuhan tidak membalas, membaca, atau sekadar melipat suratku. Aku begitu menahan kecewaan, tidak terasa air mata mengalir membasahi pipi.
“Tuhan mengapa tidak engkau baca surat yang sudah aku tulis kepadaMu.?” Pintaku dengan perasaan pilu menusuk hati, aku berusaha menenangkan diri.
Segera ke kamar mandi, aku memakai baju seragam sekolah lengkap untuk menjalankan rutinitas yang aku jalani setiap harinya.
“Aku tidak boleh putus asa, pasti masih ada cara untuk menemukan jawaban atas pertanyaanku. Mungkin saja, setelah pulang sekolah Tuhan akan membaca suratku.” Hibur pada diriku sendiri. Aku meletakan kembali surat yang berisi pertanyaan pada Tuhan itu di atas meja.
Sebelum berangkat sekolah Enyak selalu berpesan untuk sarapan dan berdoa pada Tuhan, Tuhan yang tidak mau membaca suratku.
“Semoga Tuhan memberkati segala langkah kehidupan, lancarkan segala urusan anak-anak kami dalam mencari ilmu.” Doa yang selalu diucapkan Enyak sebelum beraktivitas.
Segera aku mengayuh sepeda mungilku dengan cepat, agar bisa sampai di sekolah tepat waktu. Jarak antara rumah dan sekolah memang lumayan jauh.
”Tett...Tett...Tettt.” Terdengar bunyi bel sekolah yang menandakan pembelajaran dimulai.
Aku memarkir teman kecilku ini di sudut area parkir, kemudian dengan langkah cepat masuk ke dalam kelas mengikuti pembelajaran.
Duduk di sebelah teman yang cerewetnya melebihi Enyak, teman yang selalu mengingatkan untuk beribadah. Memberi nasihat dalam hal spiritual, pakaian, serta aksesori untuk seorang perempuan. Lebih tepatnya etika menjadi perempuan.
”Hay Nirmala.” Sapanya dengan wajah manis.
”Apa maksudmu?” Dia terkejut dan merasa heran dengan jawaban yang aku berikan.
Aku segera membisikan di telinganya hal yang aku lakukan, yaitu menulis surat yang berisikan pertanyaan tentang peristiwa yang dialami oleh Tuhanku.
“Kamu ini ada-ada saja.” Sahut teman cerewetku.
Aku membalas dengan seringai, tanda keraguan memuncak dalam diri. Tiba-tiba aku merasakan tangan lembut berada di pundakku, ternyata tangan temanku sebagai tanda penentram hati bentuk tanda meyakinkan. Agar tidak binggung, dengan apa yang aku pikirkan selama ini.
“Tuhan ada pada hati orang-orang yang beriman.” Bisik lembut dari mulut temanku, meyakinkan akan keraguanku. Aku hanya menganggukan kepalaku untuk mengerti dan menerima apa yang dia katakan.
Waktu sekolah telah usai. Aku mencoba berlari pulang, karena ada misi rahasia yang harus aku lakukan. Menunggu balasan atas surat yang mendefinisikan keraguan tentang Tuhan yang selama ini aku yakini. Keringat membasahi muka mungilku, karena aku memiliki rasa tidak sabar untuk segera pergi menuju kamar melihat apa yang akan terjadi.
“Aku pulang, Enyak aku akan langsung pergi ke kamarku.” Aku buru-buru menjabat tangan dan langsung pergi ke kamarku.
“Cepat ganti baju, pergi ke kamar mandi, ini sudah Enyak masakan makanan kesukaanmu.” Pinta Enyak meyakinkanku.
“Kenapa wajahmu tegang seperti sedang banyak berpikir?” Tanya temanku penasaran.
“Aku menunggu jawaban dari Tuhan.” Sambil mengaruk kepala, jawabku penuh harap.
Aku tidak melakukan apa yang dikatakan Enyak, karena aku tidak sabar untuk melihat balasan surat. Dengan tangan gemetar aku mengambil surat yang ada di atas meja dan membukanya, ternyata tidak ada tulisan dari Tuhan.
“Mengapa masih tidak ada balasan.?”
“Tuhan, mengapa Tuhan tidak membaca dan membalas surat yang aku tulis?” Tanyaku dengan penuh harap. Seketika aku langsung menangis menjadi-jadi.
“Tuhan......Tuhan...”
Enyak langsung ke kamarku dengan bingung.
”Ada apa Nirmala, kamu terus menangis sepulang sekolah. Kamu sakit?” Enyak dengan tenang meminta saya untuk tidak terus menangis.
“Enyak Tuhan di mana?.”
“Maksudnya apa ini?.” Dahi Enyak tampak terlipat.
"Mengapa darah keluar dari tubuhnya dalam peristiwa itu, apakah dia akan meninggalkan saya, apakah itu Tuhan?" Aku bertanya tanpa henti.
“Apa yang kau bicarakan?” Enyak terkejut
“Tuhan tidak menjawab pertanyaanku” Aku memberikan surat itu kepada Enyak
“Surat apa ini?” Perlahan buka surat yang kuberikan
“Apa yang kau pikirkan, kamu hanyalah anak kecil tidak tahu apa-apa.” Dengan wajah merah Enyak meninggalkan dalam keadaan kesal.
“Ayo Nirmala, cepat makan nasimu sudah dingin” Suara lembut Enyak yang menenangkan, supaya aku tidak perlu berpikir terlalu banyak. Suara itu terdengar jelas dari arah dapur.
“Enyak...mengapa Enyak?”
“Tuhan Mengapa engkau bisa berdarah?”
Isi Surat yang aku kirimkan adalah pertanyaan soal keraguanku terhadap Tuhan, keyakinan dan kebiasaan beribadah. Pertanyaanku masih terjebak dalam keraguan membeku menimbulkan ragu. Dengan rasa kecewa yang mendalam aku membaringkan tubuh ini ke tempat tidur.
Saat aku tidur, aku mulai merobek surat itu dengan berlinang-linang air mata. Sambil berteriak, aku melampiaskan kekecewaan pada Tuhan.
“Enyak aku ingin tidur.” Teriakku.
Dengan rasa mendongkol, aku mencoba untuk tidur dan melupakan hal-hal yang melelahkan hati dan pikiran.
“Tuhan, Mengapa engkau berdarah”
“Mengapa engkau bisa mengeluarkan darah pada peristiwa mengerikan itu?”
“Apakah engkau sejatinya benar-benar Tuhan?”
“Bukankah yang bisa berdarah itu manusia?” Mulutku masih menggumam dengan berbagai pertanyaan-pertanyaan ini.
Perasaan gelisah, penasaran, serta perasaan bingung yang kualami selama ini. Aku masih sangat belia menghadapi situasi kepelikan ini.
Perlu perjalanan panjang untuk meyakinkan diri tentang keraguan ini.
Apakah aku harus pergi jauh untuk menemukan jawaban atau saya harus berbalik, ada Tuhan lain yang harus saya temukan…..
Oleh : Nirmala & Sariyanti, S.Pd.